Tidak ku lihat karung yang seharusnya dia bawa, itu berarti dia telah menyetor dari tadi, padahal hari masih siang.
“ Akh .. sudahlah .. kau setor saja dulu punyamu, aku akan memberi tahumu nanti ” dia tersenyum.
Sembari mendorong tubuhku agar segera berjalan mendekati tempat timbangan. Hari ini aku membawa dua karung penuh, itu artinya uang yang kuterima 30.000 ribu. Alhamdulillah, aku tersenyum puas. Setelah selesai menyetor, aku berniat segera pulang, tapi kemudian teringat perkataan Mabrur saat terakhir kali berbicara denganku.
Tempat ini penuh dengan orang sepertiku. Berpakaian lusuh, sedikit robek, dan memakai sandal bekas, mereka terlihat akrab satu sama lain, mungkin keadaan ekonomilah yang membuat kami bersatu.
“ Berapa yang kau dapat hari ini ? ” Mabrur bertanya saat kami dalam perjalanan pulang.
Hari sudah sore, matahari perlahan telah bersiap kembali ke peraduannya, berganti dengan rembulan. Aku menenggak habis air yang ku beli di warung dekat tempat menyetor,
Setelahnya baru aku menjawab “ 30 ribu rupiah, dipotong 1000 untuk membeli air buat kita berdua ” aku menjawab sekenanya.
“ Farhan .. ” Mabrur lirih berucap .
“ Ya , ada apa ? ”
“Boleh tidak, ku pinjam sedikit uangmu ?”. Katanya ragu-ragu, ia menunduk, memperhatikan jalanan.
Aku merasa kecanggungan. Bagi orang seperti kami, pinjam meminjam uang adalah hal yang sensitif, bukan pelit, tapi kami memang tak biasa meminjamkan, uang yang kami dapat setiap harinya sangat terbatas, hanya sanggup menutupi kebutuhan hari itu juga. Apalagi aku yang telah berkeluarga, bukan hanya perutku yang menjadi tanggunganku, tapi juga perut istri dan anakku.
“ Buat apa ? ” aku bertanya setelah beberapa menit kami saling diam.
“ Aku ingin membeli sedikit hadiah untuk ibuku, seumur hidup aku tidak pernah memberinya hadiah. Besok hari ulang tahunnya, hanya aku yang dia miliki selama ini, aku ingin sekali membalas jasanya. Aku ingin membuatnya terharu, sekali saja ” dia menjelaskan panjang lebar, sambil tetap menunduk. Sulit bagiku melihat ekspresi wajahnya. Ada rasa haru menyelip dalam dadaku, aku sungguh menghargai niat tulusnya. Dengan perlahan, ku sodorkan uang 10 ribu padanya,
“ Ambillah .. ” kataku sambil tersenyum ke arahnya. Dia mendongak “ terima kasih ” .
***
“ Adi sakit bang .. ” kata Erna−istriku−setibanya aku di rumah, hari sudah gelap. Pantas saja tidak kulihat anakku bermain di depan rumah kami, seperti yang biasa dia lakukan.
“ Sakit apa ? ” aku bertanya.
“ Badannya panas, dari tadi dia hanya ku baringkan di kamar. Sudah ku kompres ” aku menangkap nada cemas dalam suaranya.
Segera kami berdua beranjak ke kamar, kamar kami kecil, terlalu kecil untuk menampung 3 orang. Ku lihat anakku berbaring, selimut yang menutupi tubuhnya terlihat semakin lusuh diterpa temaram lampu minyak. Seluruh rumahku memang hanya di terangi lampu minyak, aku belum sanggup membayar listrik.
“ Adi sayang .. ” aku menyapa anakku, ku usap kepalanya dan memang terasa panas.
“ Ayah .. ” dia berbalik lalu memeluk kakiku, aku lalu membaringkan tubuhku disisinya, agar dia lebih leluasa memelukku.
“ Kepala adi sakit yah, mulut adi pahit, adi lapar ” dia mengeluh padaku.
“ Adi pengen makan apa sayang ? ” tanyaku sambil mengecup kepalanya
“ Adi pengen makan bubur ayam yah ”
“ Sebentar ya sayang , ayah beli dulu. Tapi habis itu, adi juga harus minum obat ”
Dia mengangguk pelan, aku lalu beranjak keluar kamar.
“ Ada uang Erna ? ” aku bertanya pada istriku, dia menggeleng.
“ Sudah Erna bayarkan utang di warung tadi pagi bang ”
“ Ya sudah, abang pergi beli bubur ayam dan obat dulu, kau jaga Adi ”
***
Cahaya lampu jalan menyinari langkahku, bulan malam ini tertutup awan, seakan malu karena cahaya lampu jalan, motor, dan mobil yang lalu lalang terlihat lebih terang, belum lagi cahaya lampu-lampu hias di gedung dan warung-warung.
“ Semuanya 14 ribu ” kata seorang gadis muda berkaca mata -yang menjaga apotik.
“ Obat penurun demam ? ” tanyaku heran. Dia mengangguk, dengan ragu ku serahkan uang 14 ribu padanya.
Aku pulang dengan langkah gontai, ku remas sisa uang dan obat di tanganku. Segera aku teringat akan bubur ayam yang adi inginkan. Sekarang uang yang kupunya tinggal 5 ribu, dimana aku harus mencari penjual bubur ayam yang menjual bubur ayamnya dengan harga 5 ribu ? aku bingung. Otak dan kakiku tidak bekerja searah, begitu tersadar dari lamunan, aku menemukan diriku di depan sebuah pasar malam.
Ramai sekali pasar malam ini, ku lihat banyak anak kecil bersama orang tuanya. Mereka terlihat begitu bahagia, akh .. kapan aku juga bisa membawa keluargaku bersantai seperti ini ?. Seketika mataku melihat gerobak penjual bubur ayam, ku dekati “ berapa semangkuk bang ? ”
Dia Nampak sedikit kaget “ 10 ribu satu mangkuk, mau berapa bang ? ” dia balik bertanya dengan ramah. Aku menunduk lalu menggeleng, “ nggak jadi bang ” tanpa menunggu komentarnya, aku berlalu. Dimana harus ku cari 5 ribu lagi ? pertanyaan itu terus menggerogoti otakku.
***
Entah sudah berapa lama aku disini, aku harus segera pulang, Adi pasti menungguku. Ketika hendak berjalan, kurasakan ujung bajuku di tarik, aku menoleh, seorang anak perempuan berdiri memegang bajuku, umurnya mungkin sekitar 5 tahun, matanya terlihat sembab. Aku membungkuk, dia memakai baju yang bagus dan bersih dan tangan kirinya nampak menggenggam uang 10 ribu. Mungkin dia terpisah dari orang tuanya, tak heran banyak sekali orang di sekitar sini. Aku lalu berjongkok, agar anak itu bisa menatap wajahku tanpa harus mendongak ke atas.
Aku teringat pada Adi, dia mungkin sedang merintih kelaparan saat ini, aku melirik uang di genggaman anak itu. Bagaimana kalau aku ambil saja? toh dia tidak akan mengerti, dia kan masih anak-anak. Perlahan, ku coba mendiamkan anak itu, berhasil! Aku semakin yakin untuk mengambil uangnya untuk membeli bubur. Anak ini terlihat kaya, kehilangan 10 ribu tentu tidak masalah bagi orang tuanya.
Dengan lembut kubuka genggaman tangan anak kecil itu, ku ambil uangnya, lalu aku berdiri. Dia menatapku dan terlihat seperti akan menangis lagi. Aku menggenggam lagi tangannya dan ku coba mendiamkannya, tapi kali ini tidak berhasil, aku mulai panik. Seorang ibu berteriak “ Tifaaa .. ” aku dan anak itu menoleh, kemudian tangisnya bertambah keras. Ibu yang berteriak tadi berjalan cepat kearahku, ya Allah! apa dia melihat aku mengambil uang anaknya? Aku berbalik dan mencoba berlari, aku hempaskan begitu saja tangan anak itu. Rupanya dia oleng dan terjatuh.
“ Tifaaa … ” ibu tadi berteriak histeris, berlari ke arahku dan anak itu. Aku berlari menjauh.
“ Toloonngg .. pencuri anak ..!” dia berteriak lagi. Apa? dia menuduhku mencoba mencuri anaknya? dia berteriak berulang kali, sambil menunjukku. Aku berlari sekuat tenaga.
Bhuukk .... terasa ada yang menghantam belakangku dengan keras, aku kehilangan keseimbangan, mereka lalu menendang dan memukulku. Aku yang telah ambruk karena di hantam benda yang tak ku ketahui tak lagi kuat mengelak apalagi melawan. Sekujur tubuhku terasa ngilu, ku rasakan cairan hangat merembes dari hidungku, aku kehilangan kesadaran.
***
Kepalaku pusing. Perlahan kesadaranku pulih dan sekujur badanku terasa kaku dan sakit bila di gerakkan. Aku berusaha mengenali tempat dimana aku terbaring sekarang dan innalillah, aku berada di dalam sel! Aku segera sadar, air mataku mengalir, bagaimana keadaan anakku ? sudahkan dia mencicipi bubur yang dia inginkan? ku raba kantong celana lusuhku, masih ada obat disana.
Keesokan harinya aku di periksa, para polisi itu bertanya mengapa aku ingin menculik anak itu, aku menjawab jujur, aku hanya ingin uangnya karena aku butuh uang. Mereka terus bertanya dan bertanya.
Lalu istriku datang menemuiku, dia menangis memelukku. Aku merasa menjadi orang yang paling tidak berguna sedunia. Ketika hendak pulang, kuserahkan obat yang kubeli untuk anakku. Dia pergi dengan air mata yang tak henti mengucur, pengelihatanku kabur oleh air mata dan wajah anakku.
Seminggu sudah aku di tahan, istriku setiap hari datang menjenguk, anakku tidak pernah di bawanya. Aku juga tidak ingin dia melihatku dalam keadaan seperti ini. Besok aku disidang, aku tidak punya pengacara atau siapa pun yang bisa membelaku di siding nanti. Pengacara? untuk makan saja aku susah! kali ini aku pasrah. Ku dengar orang tua anak itu menyewa pengacara terbaik di negeri ini. tak heran, ayah anak itu adalah pengusaha sukses.
***
Ruangan sidang penuh dengan kursi. Polisi mendudukanku di kursi yang beberapa langkah tepat di hadapan hakim. Orang-orang yang ingin menyaksikan jalannya sidang sudah duduk rapi. Erna−istriku−datang bersama pak Ali, tetanggaku dan Mabrur. Mereka berpakaian seadanya.
Sidang pun dimulai, mereka mulai berbicara. Pengacara orang tua anak itu sesekali bertanya padaku, aku menjawab apa adanya. Pengacara itu berbicara dengan sedikit pongah, menyalahkanku dan apa saja yang bisa ia salahkan. Aku hanya bisa menunduk, aku memang bersalah. Tapi aku melakukannya karena terpaksa, karena tidak ada pilihan lain. Dan sekarang tanpa seorangpun pembela, aku semakin terpuruk.
Sejam sudah aku duduk disini, menjadi terdakwa sebuah tindak kejahatan, di hadapanku hakim telah siap membaca putusan.
“ Saudara Farhan, atas tuduhan pencurian dan penganiayaan yang anda lakukan terhadap seorang anak di bawah umur, beserta bukti-bukti serta saksi-saksi yang ada maka saya putuskan anda bersalah dan dijatuhi hukuman 2.5 tahun penjara ” palu di ketuk.
Aku tertunduk lesu, air mataku tidak bisa lagi ku bendung. Mengapa aku harus mengalami semua ini? Pengacara tadi menyalahkanku sedemikian rupa, menyalahkan tindakanku, pikiranku, dan kemiskinan yang menderaku, seolah-olah ini salahku sepenuhnya! Mengapa melimpahkan semua kesalahan padaku? mengapa tidak menyalahkan orang tua anak itu yang membiarkan anaknya terpisah dari mereka? atau mengapa tidak mempermasalahkan sistem Negara ini yang menelantarkan orang miskin seperti aku? yang membiarkan kami kelaparan di tengah kekayaan negeri yang begitu melimpah? mengapa membiarkan orang kaya semakin kaya dan orang sepertiku semakin terpuruk? aku merasa seperti tikus yang mati di lumbung padi!
Aku tidak rela dengan putusan ini, aku tidak ridha, aku tidak ikhlas, karena awan yang berarak di langit pun tahu, bukan salahku terlahir miskin.
Post a Comment